Saturday, October 8, 2011

The Beatles di Ladang Mulberry Ferghana


Jejak musim panas yang masih muda terlihat di sepanjang jalan dari lembah Ferghana menuju perbatasan Kirgizstan di kota Dustlik. Gerombolan bibit tanaman kapas tampak menyeruak dari ladang-ladang. Semua itu begitu hijau bersandingan dengan jalur-jalur rambatan tanaman anggur yang masih menyembunyikan buah mudanya yang masih hijau untuk dipanen di musim gugur nanti.

Setiap pohon, setiap semak penuh dengan bunga. Tidak heran jika ada orang yang berharap dapat berubah menjadi kupu-kupu untuk mencicipi nektarnya. Kalau saya pribadi sih, mimpi berubah jadi Thumbellina, si gadis seukuran jempol yang suka tidur di dalam kelopak bunga. Seru sepertinya tinggal di padang bunga musim panas, apalagi dalam bentuk lebih mini.

Nuansa warna fuschia dan salem pada mawar musim panas

Lembah Ferghana sejak berabad-abad yang lalu adalah provinsi di Uzbekistan yang sangat terkenal di jalur sutra karena industri pemintalannya. Berada di lempeng Eurasia, provinsi ini dipeluk oleh lengan panjang pengunungan Pamir di selatan dan Tian Shan di timur laut. Kurang lebih daerah ini berbatasan langsung dengan Kirgizstan di kota Dustlik dan Tadjikistan di kota Khudjand. Secara historis oase subur ini menghubungkan Cina dengan wilayah Mediterania.

Di sinilah permata kebudayaan Uzbekistan yang pernah menghidupi jalur perdagangan dengan ribuan karavan yang melewati oase menghijau di tengah pegunungan batu raksasa setiap tahunnya. Lembah ini secara historis mulai dikenal sejak perjalanan Alexander Agung sampai dengan invasi pedagang Arab yang memperkenalkan Islam pada abad ke-8. Abad ke-12 dinasti Samanid datang dari Persia dan Seljuk dari Turki, sampai abad ke-14 ketika Jenghis Khan dari Mongolia menguasai tempat ini.

Pagi itu jam 8 di awal bulan Mei 2011, saya sudah ditunggu oleh Romil Ibragimov, teman saya yang akan menemani ke pusat pemintalan sutra di Margilan. Selepas check out dari kamar hotel, saya membopong ransel melewati hamparan kebun mawar seluas kira-kira 100 meter persegi. Warna magenta yang mencolok benar-benar obat ampuh bagi mata yang lelah. Tak disangkal lagi, pemandangan pagi khas Uzbekistan yang menyihir dengan aroma bunga yang memabukkan memberi dorongan semangat dari malam yang melelahkan.

Romil Ibragimov dan saya
Seperti biasa, Romil tersenyum melihat saya. Tangannya menunjuk sesuatu, dan ternyata dari hotel yang kami tempati terlihat puncak bersalju pegunungan Pamir. Saya benar-benar tidak menyadarinya, karena kami tiba dalam kegelapan tadi malam. 

Setelah masuk mobil, kami melakukan ritual biasa, memutar lagu-lagu The Beatles keras-keras di sepanjang jalan di dalam sedan chevrolet Romil. Laki-laki paruh baya ini memang menggilai The Beatles. Sama seperti saya.

Selanjutnya di antara laju mobil ke sebuah pusat pemintalan sutra di daerah Margilan, suara John Lennon bernyanyi,
 

"Let me take you down, cause I'm going to strawberry field.."

Tidak mau kalah, sambil menyetir Romil berkata dengan semangat,


"This time Rinda, I'm going to take you down to mulberry field.."
Buah Mulberry merah enak dimakan tapi belum matang

Sontan saja saya tertawa mendengar nyanyian kelakarnya. Tidak heran sih, selama di Uzbekistan, di mana saja saya selalu menemukan pohon mulberry. Bukan hanya pengaruh jalan sutra yang membuat pohon ini begitu penting dalam masyarakat mereka. Namun juga, karena sejak abad ke-4 pohon ini merupakan salah satu pesona keindahan yang menghiasi landscape selain birunya kubah-kubah masjid mereka yang diwarnai dengan batu lapis lazuli dan berhiaskan emas, serta hijau dari batu turqouise.

Buah Mulberry yang sudah matang berwarna ungu tua


Rasanya  gembira sekali bernyanyi dengan bapak segudang cerita ini. The Beatles di negara bekas komunis. Saya jadi ingat cerita Romil, dulu di tahun 60an ketika dia muda, ia harus membeli lagu pop barat dari pasar gelap atau menitip piringan hitam dari luar negeri pada saudaranya yang bekerja untuk pemerintahan komunis.

Sulit sekali membayangkan hidup di era itu. Ketika identitas individual tidak dapat hidup, yang tersisa cuma wajah kolektif masyarakat yang dipaksa oleh penguasa. Keseragaman hidup menjadi syarat suatu stabilitas. Ketika musik yang layak dengar adalah yang disukai penguasa. Buku yang layak baca adalah tulisan yang bebas dari nilai yang membahayakan penguasa. 

Dari cerita Romil, saya menyimpulkan ada yang tetap menyala dibalik dinginnya puluhan tahun masa pemerintahan komunis di Uzbekistan. Hasrat rock 'n roll anak muda yang tak teredam di tengah gencarnya propaganda komunisme Uni Soviet.

Sepertinya The Beatles layak mendapat tempat terhormat di hati Romil. Bapak satu anak ini mengaku John Lennon cs telah merubah hidupnya. Ia giat belajar bahasa Inggris karena lagu-lagunya, sehingga sampai masa tuanya dengan mudah ia melebur ke dalam pergaulan internasional dan mendapat sudut pandang yang lebih luas mengenai lika-liku kehidupan.

Sungguh tidak menyangka, di tengah denyut pertanian negeri ini yang sederhana, dengan pemandangan kereta berisi kayu dan jerami petani yang ditarik keledai. Di sepanjang jalan saya mendengar kesaksian hidup yang menggugah rasa. The Beatles mengalun di ladang mulberry sepanjang lembah Ferghana. Dan akan tetap mengalun dari dulu sampai nanti selama masih ada Romil-Romil lainnya di negeri cantik ini.  


Pada akhirnya, kecintaan terhadap sesuatu memang memberi nilai lebih. Sedang sisanya, menjadi tidak begitu penting. Seperti kata The Beatles, "All you need is love!"




No comments:

Post a Comment