Friday, August 12, 2011

Tepian Asa di Perbatasan Kirgizstan

Di dekat perbatasan, mulai terlihat deretan mobil-mobil yang mengantri di pos pengecekan Dustlik. Malang bagi kami, bis tidak diizinkan masuk. Jadilah kami harus berjalan kaki kurang lebih 200 meter ke pos imigrasi. Di sana, kami pun melewati petugas keamanan dengan perawakan khas kaukasia yang tinggi tegap dengan senjata sejenis AK-47 di tangan mereka. Sejujurnya saya tidak pernah begitu dekat di bawah todongan senjata seperti itu, dan moncong anjing herder.  Apalagi ditambah suasana khas pos negara Eropa Timur yang biasa saya lihat di film Hollywood, kaku, pagar berduri.

Belum lagi petugas di sini sepertinya memiliki waktu luang yang banyak sekali, lebih tepatnya kurang kerjaan. Setiap barang yang kami bawa akan dikeluarkan dan ditanya sampai detil kegunaannya. Lucu, karena kadang petugas-petugas itu cekikikan dengan temannya membahas barang-barang dari dunia lain yang mereka lihat di tas kami. Dalam hati saya berpikir, memangnya kami terlihat seperti pengedar narkoba atau penjual organ manusia--yang kabarnya banyak di wilayah asia tengah ini.


Daerah pertanian menjelang pos imigrasi Dustlik

Di tengah udara yang kering, angin dingin berhembus kencang. Kami pun dipaksa berdiri di tengah jalanan berdebu di depan kantor kecil imigrasi. Dalam antrian yang tak kunjung usai. Siang itu hanya ada grup kami di pos imigrasi mereka, jadilah kami mangsa yang empuk.

Supaya cepat selesai dengan lancar, di depan petugas perbatasan itu kami harus memerankan lakon turis bodoh. 

Yang penting siap sedia senyum lebar di bibir, menjawab apa yang mereka tanya dengan manis dengan bahasa apa saja--toh mereka tidak mengerti-- siapkan juga jurus pamungkas bahasa tubuh. 

Beberapa turis Eropa di grup saya juga mengajak mereka tertawa ketika obat-obatan mereka dibongkar dan diacak-acak dari koper. Wolfgang si orang Jerman terlihat memegang pil antihistamin miliknya dan mulai berakting menggaruk-garuk seluruh badannya. Hanya untuk menunjukkan pada mereka itu adalah obat alerginya. Konyol sih, tapi mau bagaimana lagi. Semua itu kami lakukan dengan menahan dingin demi satu tujuan, cepat mendapat cap imigrasi di paspor kami dan pergi dari pemeriksaan kurang manusiawi yang membuang waktu kami sampai 2 jam lebih itu.

Sampai di pusat kota Osh, bis tur kami mampir sebentar di sebuah money changer. Saya merasa tidak perlu ikut ke dalam karena toh uang Som Uzbek saya sudah habis dari kemarin.

Ide menukarkan Dollar dengan rate valuta di Osh, tidak terimakasih. Lebih baik gigitin tulang kambing deh walaupun saya vegetarian. 

Sekedar informasi, turis Eropa yang bersama saya itu kelebihan Som Uzbek. Jadi, mau tidak mau mereka harus menukarkannya karena besok selepas Kirgizstan kami akan berkendara langsung ke perbatasan Cina menuju kota Kashgar. Angan untuk menikmati dua malam di sini lenyap karena Cina akan menutup perbatasannya dengan Kirgizstan mulai besok lusa selama 2 hari. Jadilah saya dan grup harus mengejar waktu untuk sampai di perbatasan Cina besok sebelum tengah hari.


Ismael si supir imut dan Nourlan si guide kocak

Urusan perbatasan beres, saya ada di Kirgizstan juga akhirnya. Kami bertemu dengan penerjemah kami, Nourlan yang menunggu di bis yang baru dengan kelegaan yang memuncak. Sebuah Mercedes berwarna kuning tua. Lewat jendela bis, akhirnya saya meneguhkan hati menahan kantuk yang berat di mata agar dapat melihat sekilas kota Osh. Kotanya sendiri tidak begitu memukau bagi pengelana yang melewatinya. Deretan toko-toko kecil yang berhimpitan, dengan trotoar kelabu yang berdebu. Jauh dari kesan modern tetapi juga bukan merupakan kota antik yang cantik. Terasa aura negara bekas komunis ini, dengan poster pemimpin mereka di jalanan yang bertuliskan huruf Cyrillik dan bangunan apartemen kaku ala Rusia.

Saat itu saya melihat supir kami, Ismael duduk di warung kecil di dekat tempat parkir bis. Saya dan satu teman dari Austria pun mendatanginya untuk menunggu yang lain. Di warung tersebut ada lima laki-laki duduk dan mengobrol. Salah satunya memperkenalkan diri sebagai supir taksi dan menunjuk taksinya yang diparkir tidak jauh dari situ. Ismael pun dimintai tolong olehnya untuk sedikit memasarkan taksinya pada saya dan Christian. Kami berdua hanya tersenyum simpul sambil berkata Rahmat! Yang berarti terimakasih.

Perlu pembaca ketahui, saat ini situasi ekonomi di Kirgizstan cukup buruk. Banyak orang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Tidak heran para sopir itu berlomba mendapatkan klien. Pemasukan dari turisme pun tidak begitu besar karena kecilnya tingkat kedatangan di negeri mereka. Tidak heran juga sih, hanya sedikit yang mau datang ke negeri cantik bekas pemerintahan komunis ini.

Walaupun memiliki bentang alam yang mempesona dan sejarah yang kaya, birokrasi di Kirgizstan dan pemerintah yang korup jelas sebuah hambatan besar. 

Belum lagi gejolak politik yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga. Sangat disayangkan untuk negeri cantik seperti ini.

Ismael pun akhirnya membuka suara dan bercerita kepada kami mengenai keluh kesah para sopir taksi. Kebanyakan turis yang mampir di Osh memang sering menggunakan jasa mereka ketimbang naik bisa dari terminal antar kota. Kadang kala ketika para turis tersebut menawar, harga yang disepakati sering kali tidak memberikan untung bagi mereka. Cukup sekedar balik modal isi bensin dan uang sisa untuk makan dan minum sepanjang jalan.
"Mereka tidak punya pilihan lagi selain mengantarkan turis, bahkan tanpa keuntungan memadai. Itu semua karena tidak ada lagi pekerjaan bagi sopir-sopir taksi ini," ujar Ismael menerjemahkan cerita para sopir taksi.
Seketika saya pun terlibat dalam sebuah dilema. Antara mengerti betapa sulitnya mengumpulkan uang untuk perjalanan sehingga harus diirit, tapi di sisi lain malu dengan gaya turis yang semena-mena terhadap kesejahteraan orang lokal.  Di jalan saya memang bertemu dengan satu dua orang pejalan.

Ada dua tipe turis yang sering datang ke Kirgizstan. Pertama, para turis kaya lanjut usia yang bisanya mengikuti tur dengan bis carter. Kedua, pejalan yang rata-rata berusia muda yang memiliki bujet terbatas. Kebanyakan yang memakai jasa taksi memang pejalan, dan saya dapat memahami betapa pentingnya menghemat bujet di perjalanan. Namun, hati ini terenyuh juga jadinya. Bahkan sebagai turis saya malu duduk di situ mendengar cerita sedih mereka. Tapi apa daya, tidak semua turis memiliki uang banyak dan kepekaan yang tinggi terhadap daerah yang dikunjunginya.

Satu pelajaran saya dapat dari warung kecil itu, kita tidak perlu merasa menjadi sapi perah bagi orang lokal apabila mendapat harga yang kurang kompetitif. Setidaknya kita dapat memberikan lebih bagi orang lokal dan menerapkan responsible traveling

Sebagai contoh, ibu penjual warung tersebut dengan ramahnya memberikan saya kismis dan kacang untuk menemani teh saya, dan itu diberikan dengan gratis. Jadi, daripada membuang uang untuk kapitalis dengan jajan fastfood, lebih baik berbagi kan. Hal inilah yang menjadi esensi perjalanan. Untuk mendapat ide yang berbeda, untuk kembali ke nilai kemanusiaan universal, untuk mencapai harmoni dengan sesama lewat darma. Apa yang kamu beri akan kembali berkali lipat kok, optimis saja.

Setelah itu, bis menderu menuju rute pegunungan Pamir. Waktu untuk melihat dataran hijau kaum nomad sudah mendekat. Saya memejamkan mata dan bersyukur atas segala jenis pengalaman yang saya dapat sepanjang perjalanan ini. Di tengah sulitnya kehidupan, orang-orang Kirgiz masih memiliki harapan terhadap penghidupannya.





No comments:

Post a Comment