Thursday, July 21, 2011

Tin Tin Ngidam Persik Sun Gukong


Masih di Beijing untuk transit 17 jam sebelum berangkat ke Mongolia. Setelah sesiangan menjelajah dan berdoa di Lama Temple, saatnya saya menyusuri jalan di kawasan Andingmen menuju Nan Luo Guxiang. Pencarian buah persik musim panas masih berlanjut.

Di saat saya jalan sendiri, biasanya sih tidak pernah kesepian. Di ransel saya selalu tergantung miniatur Tin Tin si petualang kesukaan saya. Hadiah dari mantan Bos, langsung dari kota kelahirannya di Brussels. Jangan heran yah, di kala sepi si Tintin ini yang kadang jadi alter ego saya yang lebih adventurer. Aneh? Gak apa-apalah daripada sepi.

Kalau di Jakarta, bahkan di beberapa kota di Asia sesekali saya menemukan buah persik. Tapi kok jarang ngidam, tidak seperti kalau saya ada di Cina. Buah persik yang dijual di supermarket Jakarta kulitnya agak layu, aromanya sudah hilang, malah kadang sudah keriput. Beijing sebagai ibukota jelas memiliki koleksi ragam buah persik terlengkap di seluruh negeri.

Pertama kali indra saya dimanjakan oleh keberadaan persik khas negeri tirai bambu sewaktu saya jalan ke Turfan di Xinjiang, Cina Barat. Saat itu malam bulan Mei yang hangat dan berangin. Saya berjalan kaki dari restoran menuju hotel dan mendadak tercium wangi yang kuat di udara. Kios buah kecil di tepi jalan itu sumbernya. Berkardus-kardus persik montok yang berona merah mawar ditata di atas kardus.

Semerbak wangi itu seperti magnet. Kaki saya melangkah sukarela ke kios tersebut dan langsung mengambil sebuah. Kulit buahnya halus seperti beludru, saya dekatkan ke hidung. Wanginya malam itu sangat tajam. Tidak kalah dengan body spray Victoria Secret yang versi wangi peach.

Pedagang buah  lalu menyapa saya dengan rentetan bahasa Cina yang tidak saya mengerti. Saya hanya menjawab, "No, I don't speak Chinese. English please," Wajah saya memang tidak jauh berbeda dengan warga lokal, jadi nggak heran saya sering sekali diajak ngobrol pakai bahasa Mandarin.

"This! Sun Gukong," sahutnya sambil menunjuk ke tumpukan persik dan menirukan gerakan kungfu.

Saya bengong. Dia berbicara lagi dengan bahasa Mandarin. Saya menangkap kata "Monkey king" yang diucapkannya sambil tetap menggaruk-garuk tubuh seperti monyet.

"Ah, Son Gukong. Ya Patkay, ciaat!" ujar saya menirukan gerak kungfu pada si pedagang buah.
"YES, YES!"
dia mengangguk-angguk sambil tersenyum sampai matanya hilang tinggal segaris.
Ternyata otak saya belum terlalu karatan. Masih sempat teringat soal legenda si raja monyet mencuri buah persik keabadian yang di tanam di taman surga. Semacam itulah. Wah, jadi ini rupanya persik si Son Gukong itu. Nggak heran monyet yang suka pisang pun sampai niat sekali mencurinya dengan resiko dikejar-kejar siluman neraka. Itu kan ada di legendanya. Habis buahnya menggoda iman betul sih. Merah merona, berbelah montok, wangi lagi. Siapa yang nggak ngiler.

Buah persik musim panas di Cina ada beberapa macam. Ada jenis persik yang agak kecil dan gepeng, persik yang sebesar apel Washington, sebesar apel Fuji, sampai sebesar pir Korea yang montok itu. Persik kesukaan saya kebetulan yang seukuran apel Fuji. Bulat, berair, dengan kulit kuning pucat bersemu merah mawar, dan yang khasnya adalah garis yang membelah di tengahnya. Lekuk ini memberi kesan montok dan bohay pada buah ini.

Dibalik kulitnya yang seperti beludru, tersimpan daging buah tebal dan biji seukuran bola bekel. Jangan bandingkan dengan buah persik kalengan yang dagingnya berwarna kuning dan manis kenyal seperti jeli. Persik Cina yang segar warna dagingnya kuning dengan bercak merah mawar. Teksturnya renyah, berair banyak, dan wanginya, wahh.. super harum!


Kembali lagi ke pencarian saya di sekitar Nan Luo Guxiang, tidak jauh dari McDonalds Benxiaquo, di gang-gang kecil terdapat beberapa toko buah. Teman dadakan saya, Peter seorang antropolog dari New York ternyata mahir berbicara bahasa Mandarin sehari-hari. Tertolong sekali waktu membeli buah persik.

Kali ini tidak ada ilustrasi silat-silatan model monyet kegatelan yang diperagakan pedangang buah persik di Xinjiang kala terakhir saya ke Cina. Di toko buah kali ini saya diberi plastik, memilih buah persik, ditimbang lalu si pedagang dengan kebisuannya menunjuk harga yang harus saya bayar di layar kalkulator. Angka menunjukkan harga 40 Yuan untuk 4 buah persik ukuran sedang.

Walaupun sang pengarang Herge tidak pernah menulis cerita soal buah persik Son Gukong, sepertinya mitos persik legenda ini layak dicari oleh Tin Tin yang bergantung di ransel saya. Oalah, gitu aja kok repot, Tin!


No comments:

Post a Comment