Monday, October 31, 2011

Wrestling Pal for Edi


Edi or Edward V is a bachelor from the city of Archduke, Vienna. His height around 1,87 meters and has baby face on Samson posture. Tall, sturdy, smiley face, with long brown hair, and Wookiee voice-- he really was a human incarnation of Chewbacca. That was the moment he got his nickname, Chewie.

Chewie sleep over the vast steppe.

Just like these-day Vienna young inhabitants, his true interest was in the art of mocking and sarcastic praise. He called me 'Princess' to tease my hygiene habit and good manner words. So there we were, the Princess and Chewie,  driving the horseland in the Planet Steppe. All we need to find was the Jedi. Defeat  the bumpy road, three days with minimum size of beer, and a painful introduction to the intellectual demands of group's life philosophy, Edi need a pal to release his frustrations. Wrestling field was the answer.

As one of my companion during the Mongolia trip, Edi has shared a lot of his brilliant wisdom about shamanism. As well as his vast knowledge about the way they got "high" or trance in a manner way, and his beautiful skeptic mind toward the spirits world. I was sure Edi realized that it took more than cute big grin to survive in Mongolia, and it included wrestling.

Saturday, October 8, 2011

Photostoria: Bagan with Thousands Pagoda




note: click the image to see slideshow and larger view.





The Beatles di Ladang Mulberry Ferghana


Jejak musim panas yang masih muda terlihat di sepanjang jalan dari lembah Ferghana menuju perbatasan Kirgizstan di kota Dustlik. Gerombolan bibit tanaman kapas tampak menyeruak dari ladang-ladang. Semua itu begitu hijau bersandingan dengan jalur-jalur rambatan tanaman anggur yang masih menyembunyikan buah mudanya yang masih hijau untuk dipanen di musim gugur nanti.

Setiap pohon, setiap semak penuh dengan bunga. Tidak heran jika ada orang yang berharap dapat berubah menjadi kupu-kupu untuk mencicipi nektarnya. Kalau saya pribadi sih, mimpi berubah jadi Thumbellina, si gadis seukuran jempol yang suka tidur di dalam kelopak bunga. Seru sepertinya tinggal di padang bunga musim panas, apalagi dalam bentuk lebih mini.

Nuansa warna fuschia dan salem pada mawar musim panas

Lembah Ferghana sejak berabad-abad yang lalu adalah provinsi di Uzbekistan yang sangat terkenal di jalur sutra karena industri pemintalannya. Berada di lempeng Eurasia, provinsi ini dipeluk oleh lengan panjang pengunungan Pamir di selatan dan Tian Shan di timur laut. Kurang lebih daerah ini berbatasan langsung dengan Kirgizstan di kota Dustlik dan Tadjikistan di kota Khudjand. Secara historis oase subur ini menghubungkan Cina dengan wilayah Mediterania.

Monday, September 19, 2011

While It Does Last


What happened to my life lately, if I could tell you there's not much, clearly. Those of you might have hustle and bustle life than I did in the past month. I soaked my self on my study, writings, culture consultant job for Korean company,  and some short travel. The WOW news was, I'm on diet.
 
Wake up this morning, I felt uneasy. I went downstairs to get my breakfast. Wholewheat breads and chunky peanut butter looked yummy on the marble table. Too bad, I was on my second day diet and a cup of black coffee was my only treat for a starter.

I'm not a coffee person, but if the diet menu require me to do so, then I follow. As I can remember, that caffeine drink and I didn't get along well. It usually happened to be bad. The case was, I finished one glass of it on my working table while I was doing lot of assignments on my computer. 

My hands begun to tremble and my heart beat fast. At first I thought it's only a thrill effect of my comeback in social media. From my previous travel, I couldn't had chance to chirping on Twitter, Facebook, and so on. But then I realized, it's a caffeine shock.

Then I got dizzy. I know the problem was from the coffee. People like me cannot sip it and sit down peacefully. The caffeine input was an alarm for my body to move my muscles, gain sweat, do the rubbish run, and so on. 
 

I took short biking to the nearest green space, the caffeine shock finally subsided. The clock showed time around eleven. It was great to have intermezzo like this under the branches of trees. I lay my self on the grass and think about my weight loss program.

Sunday, August 14, 2011

Summer House Near Siberian Border


One early morning in the fence of Kurtsbaataar wooden house in Binder, 
near to the Siberian border. The summer's trace is all around. 
Still young under Mongolian vast blue sky.



One wooden house, two wooden houses,and unlimited vast of grassland.


 
Cattle like lambs, horses, pony, enjoy the breakfast fresh from mother earth.



The one eyed shadow on the grassland. 



Warm under the sunshine's fragments.


Friday, August 12, 2011

Tepian Asa di Perbatasan Kirgizstan

Di dekat perbatasan, mulai terlihat deretan mobil-mobil yang mengantri di pos pengecekan Dustlik. Malang bagi kami, bis tidak diizinkan masuk. Jadilah kami harus berjalan kaki kurang lebih 200 meter ke pos imigrasi. Di sana, kami pun melewati petugas keamanan dengan perawakan khas kaukasia yang tinggi tegap dengan senjata sejenis AK-47 di tangan mereka. Sejujurnya saya tidak pernah begitu dekat di bawah todongan senjata seperti itu, dan moncong anjing herder.  Apalagi ditambah suasana khas pos negara Eropa Timur yang biasa saya lihat di film Hollywood, kaku, pagar berduri.

Belum lagi petugas di sini sepertinya memiliki waktu luang yang banyak sekali, lebih tepatnya kurang kerjaan. Setiap barang yang kami bawa akan dikeluarkan dan ditanya sampai detil kegunaannya. Lucu, karena kadang petugas-petugas itu cekikikan dengan temannya membahas barang-barang dari dunia lain yang mereka lihat di tas kami. Dalam hati saya berpikir, memangnya kami terlihat seperti pengedar narkoba atau penjual organ manusia--yang kabarnya banyak di wilayah asia tengah ini.


Daerah pertanian menjelang pos imigrasi Dustlik

Di tengah udara yang kering, angin dingin berhembus kencang. Kami pun dipaksa berdiri di tengah jalanan berdebu di depan kantor kecil imigrasi. Dalam antrian yang tak kunjung usai. Siang itu hanya ada grup kami di pos imigrasi mereka, jadilah kami mangsa yang empuk.

Supaya cepat selesai dengan lancar, di depan petugas perbatasan itu kami harus memerankan lakon turis bodoh. 

Yang penting siap sedia senyum lebar di bibir, menjawab apa yang mereka tanya dengan manis dengan bahasa apa saja--toh mereka tidak mengerti-- siapkan juga jurus pamungkas bahasa tubuh. 

Thursday, July 21, 2011

Tin Tin Ngidam Persik Sun Gukong


Masih di Beijing untuk transit 17 jam sebelum berangkat ke Mongolia. Setelah sesiangan menjelajah dan berdoa di Lama Temple, saatnya saya menyusuri jalan di kawasan Andingmen menuju Nan Luo Guxiang. Pencarian buah persik musim panas masih berlanjut.

Di saat saya jalan sendiri, biasanya sih tidak pernah kesepian. Di ransel saya selalu tergantung miniatur Tin Tin si petualang kesukaan saya. Hadiah dari mantan Bos, langsung dari kota kelahirannya di Brussels. Jangan heran yah, di kala sepi si Tintin ini yang kadang jadi alter ego saya yang lebih adventurer. Aneh? Gak apa-apalah daripada sepi.

Kalau di Jakarta, bahkan di beberapa kota di Asia sesekali saya menemukan buah persik. Tapi kok jarang ngidam, tidak seperti kalau saya ada di Cina. Buah persik yang dijual di supermarket Jakarta kulitnya agak layu, aromanya sudah hilang, malah kadang sudah keriput. Beijing sebagai ibukota jelas memiliki koleksi ragam buah persik terlengkap di seluruh negeri.

Pertama kali indra saya dimanjakan oleh keberadaan persik khas negeri tirai bambu sewaktu saya jalan ke Turfan di Xinjiang, Cina Barat. Saat itu malam bulan Mei yang hangat dan berangin. Saya berjalan kaki dari restoran menuju hotel dan mendadak tercium wangi yang kuat di udara. Kios buah kecil di tepi jalan itu sumbernya. Berkardus-kardus persik montok yang berona merah mawar ditata di atas kardus.

Semerbak wangi itu seperti magnet. Kaki saya melangkah sukarela ke kios tersebut dan langsung mengambil sebuah. Kulit buahnya halus seperti beludru, saya dekatkan ke hidung. Wanginya malam itu sangat tajam. Tidak kalah dengan body spray Victoria Secret yang versi wangi peach.

Pedagang buah  lalu menyapa saya dengan rentetan bahasa Cina yang tidak saya mengerti. Saya hanya menjawab, "No, I don't speak Chinese. English please," Wajah saya memang tidak jauh berbeda dengan warga lokal, jadi nggak heran saya sering sekali diajak ngobrol pakai bahasa Mandarin.

"This! Sun Gukong," sahutnya sambil menunjuk ke tumpukan persik dan menirukan gerakan kungfu.

Saya bengong. Dia berbicara lagi dengan bahasa Mandarin. Saya menangkap kata "Monkey king" yang diucapkannya sambil tetap menggaruk-garuk tubuh seperti monyet.

"Ah, Son Gukong. Ya Patkay, ciaat!" ujar saya menirukan gerak kungfu pada si pedagang buah.
"YES, YES!"
dia mengangguk-angguk sambil tersenyum sampai matanya hilang tinggal segaris.