Masih di Beijing untuk transit 17 jam sebelum berangkat ke Mongolia. Setelah sesiangan menjelajah dan berdoa di Lama Temple, saatnya saya menyusuri jalan di kawasan Andingmen menuju Nan Luo Guxiang. Pencarian buah persik musim panas masih berlanjut.
Di saat saya jalan sendiri, biasanya sih tidak pernah kesepian. Di ransel saya selalu tergantung miniatur Tin Tin si petualang kesukaan saya. Hadiah dari mantan Bos, langsung dari kota kelahirannya di Brussels. Jangan heran yah, di kala sepi si Tintin ini yang kadang jadi alter ego saya yang lebih adventurer. Aneh? Gak apa-apalah daripada sepi.
Kalau di Jakarta, bahkan di beberapa kota di Asia sesekali saya menemukan buah persik. Tapi kok jarang ngidam, tidak seperti kalau saya ada di Cina. Buah persik yang dijual di supermarket Jakarta kulitnya agak layu, aromanya sudah hilang, malah kadang sudah keriput. Beijing sebagai ibukota jelas memiliki koleksi ragam buah persik terlengkap di seluruh negeri.
Pertama kali indra saya dimanjakan oleh keberadaan persik khas negeri tirai bambu sewaktu saya jalan ke Turfan di Xinjiang, Cina Barat. Saat itu malam bulan Mei yang hangat dan berangin. Saya berjalan kaki dari restoran menuju hotel dan mendadak tercium wangi yang kuat di udara. Kios buah kecil di tepi jalan itu sumbernya. Berkardus-kardus persik montok yang berona merah mawar ditata di atas kardus.
Semerbak wangi itu seperti magnet. Kaki saya melangkah sukarela ke kios tersebut dan langsung mengambil sebuah. Kulit buahnya halus seperti beludru, saya dekatkan ke hidung. Wanginya malam itu sangat tajam. Tidak kalah dengan body spray Victoria Secret yang versi wangi peach.
Pedagang buah lalu menyapa saya dengan rentetan bahasa Cina yang tidak saya mengerti. Saya hanya menjawab, "No, I don't speak Chinese. English please," Wajah saya memang tidak jauh berbeda dengan warga lokal, jadi nggak heran saya sering sekali diajak ngobrol pakai bahasa Mandarin.
"This! Sun Gukong," sahutnya sambil menunjuk ke tumpukan persik dan menirukan gerakan kungfu.
Saya bengong. Dia berbicara lagi dengan bahasa Mandarin. Saya menangkap kata "Monkey king" yang diucapkannya sambil tetap menggaruk-garuk tubuh seperti monyet.
"Ah, Son Gukong. Ya Patkay, ciaat!" ujar saya menirukan gerak kungfu pada si pedagang buah.
"YES, YES!" dia mengangguk-angguk sambil tersenyum sampai matanya hilang tinggal segaris.