Sunday, January 23, 2011

Seperti Cara Zuzana

Sepanjang hari ini memang aneh. Satu orang yang paling beda dari kami, Zuzana menghilang entah berapa kali selama perjalan kami ke beberapa pagoda di Pyay. Setiap kali saya menemukannya, dia selalu dalam keadaan trans dengan segenggam karkoal di tangan atau sedang menggambar di atas buku sketsa. Siang ini saya bilang kalau seharusnya kami sudah pergi dari pagoda Shwesandaw untuk melanjutkan perjalanan. "Kasihan teman lain yang menunggu," saya bilang. Tapi percuma, dia memang seniman sejati. "Oh, sebentar," begitulah dia membalas. Buat dia, waktu dan ruang bukanlah hal penting.

Zuzana Kalinakova di tepi sungai Irawadi, Myanmar

Ratusan orang di sana mungkin tahu bagaimana cara berpura-pura baik. Dia tidak seperti itu. Walau umurnya sudah lebih dari kepala tiga, ada gairah seni yang membuat sisi kanak-kanaknya tetap hidup. Di antara teman dan orang asing, dia memang tersendiri.

Dia melakukan apa yang dia suka dengan sangat tekun. Sapuan karkoal dan kuas di bukunya adalah proyeksi diri yang paling jujur. Tidak peduli orang menilai apa. Masa bodoh juga kalau teman yang lain tidak suka dia sering terlambat. "Toh, ini jalan-jalan bukannya waktu presentasi bisnis,"  ujarnya kalem. Dia hanya menjalani hidup dengan menjadi diri sendiri. Hanyut dalam pemikiran sekilas. Saya pergi dengan perasaan seperti baru mendapat tamparan di wajah.

Saya tidak cukup yakin bagaimana tepatnya untuk berperilaku, jadi saya pergi ke luar untuk bernapas sedikit. Udara berbau dupa dan mendorong masuk dengan tergesa-gesa ke tenggorokan. Selama hidup, saya selalu berusaha untuk bersikap sopan, layak, dan baik. Kecenderungan itu tumbuh menjadi sebuah kebiasaan untuk membuat diri saya diterima dengan mudah oleh orang lain. Kreativitas saya dibatasi peran orang-orang yang lebih superordinat. Mulai dari orang tua, guru, pembimbing, sampai bos. 

Baru sadar sekarang kalau perilaku saya selama ini bersifat kondisional. Identitas saya menjadi seperti tuntutan ideal. Keunikan individu jadi kerdil oleh peran identitas sosial yang lebih aman bagi keberadaan saya.

Lucunya, ketika mencoba kemampuan sosial saya untuk bersifat individualis biasanya berakhir dengan saya bersikap seperti bajingan. Antisosial dan egois kata teman dekat saya mengeluhkan. Dalam kebingungan, siang tadi, ketika melihat Zuzana sungguh membuat saya merasa lumpuh. 

Dia hidup dengan caranya sendiri yang berbeda. Dari ceritanya, selama bertahun-tahun dia tidak pernah mempedulikan orang-orang yang menganggap seninya sampah. Ketekunan itu ternyata dapat menghidupinya dengan baik sampai saat ini. Lukisan hasil proyeksi seni individualis yang agak aneh itu saat ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi di kota asalnya di Slovenia.  Kenyataan menekan sedikit terlalu keras ke kepala saya. 

Zuzana melukis di kereta api menuju Hsipaw

Akhirnya saya mencari tempat duduk yang agak ramai dengan suara peziarah yang sedang melafalkan doa. Saya benar-benar butuh sesuatu yang keras supaya tidak perlu mendengarkan suara gila di dalam kepala.

Perjalanan ke Myanmar ini adalah salah satu pilihan saya untuk melihat ketenangan dari ajaran Buddha yang hidup di orang-orang Burma dalam keseharian mereka.  Isolasi  Junta militer selama berpuluh tahun telah  telah melindungi mereka dari nilai-nilai rakus yang ada di dunia luar. Kehidupan mereka  seperti tertinggal beberapa dekade dibandingkan dengan negara tetangga yang sibuk menggerus kearifan lokal masyarakatnya dengan selera kapitalis.

Denyut kehidupan di negeri ini serupa dengan apa yang pernah saya alami dua puluh tahun lalu di Jakarta. Sederhana, tidak manipulatif, tanpa banyak tuntutan sosial. Perbedaan seperti ini sangat saya rindukan. Seperti saat melihat Zuzana hanyut dalam ekstasi seni. Saya iri sekaligus rindu dengan diri saya yang seperti itu.

Saya harap belum terlalu terlambat untuk berhenti berpura-pura dan mencoba jujur apa adanya. Di suatu titik, orang-orang akan menjadi penonton dan saya yang bertepuk tangan. Karena mereka tak bisa menyentuh saya. Tapi saya yang akan menyentuh mereka, seperti cara Zuzana.



No comments:

Post a Comment